Harga Pesimisme Vs Keuntungan Optimisme
Sawitri Supardi Sadarjoen psikolog
Daniel Goleman dalam bukunya "Emotional
Intelligence" mengungkapkan bahwa
dengan penyertaan penghayatan depresi, maka
pesimisme memberi ekses medik
yang lebih besar daripada keuntungan yang diperoleh
seseorang yang bersikap
optimistis.
Selanjutnya diberi contoh hasil penelitian yang
telah dilakukan terhadap 122
pasien yang menderita serangan jantung pertama dan
kemudian diukur taraf
pesimisme atau optimismenya. Setelah 8 tahun
kemudian dievaluasi, ternyata 21 orang dari kelompok
penderita yang pesimistis
meninggal dunia, sementara
dari kelompok penderita yang optimistis hanya 6
orang yang meninggal dunia.
Hasil pemeriksaan kondisi mental, termasuk kisaran
kerusakan organ jantung,
penyempitan arteri, kadar kolesterol, dan tekanan
darah peserta penelitian
membuktikan, pada kelompok pasien yang optimistis
tampak relatif lebih baik
dalam faktor risiko medis.
Kecuali itu, penelitian lain membuktikan, dalam
operasi by pass pada
pembuluh darah arteri jantung, pasien yang lebih
optimistis lebih cepat
pulih kesehatannya. Ternyata pula peluang terjadinya
komplikasi selama dan
sesudah pembedahan jantung pada orang optimistis pun
lebih sedikit terjadi
bila dibandingkan dengan pasien yang pesimistis.
*Optimistis vs pesimistis*
Optimisme dan berpengharapan, seperti halnya kerabat
dekat, memiliki
kekuatan dalam proses penyembuhan penyakit pada
manusia. Orang yang
berpengharapan besar lebih mampu mengatasi masalah
yang dihadapi, termasuk
dalam menghadapi kesulitan medis.
Dalam penelitian terhadap pasien lumpuh oleh luka
pada susunan saraf spinal,
pasien yang memiliki pengharapan dapat meningkatkan
mobilitas fisiknya
daripada pasien yang kurang memiliki pengharapan.
Reaksi emosional terhadap kelumpuhan susunan saraf
spinal oleh kecelakaan
pada usia 20-an tahun memberi konsekuensi yang besar
terhadap sejauh mana
pasien memiliki kekuatan yang membuat dirinya mampu
meningkatkan fungsi
fisik, mental, dan sosialnya.
Bagaimana mekanisme pengaruh efek medis dari sikap
optimistis dan pesimistis
tersebut memang masih merupakan tanda tanya besar.
Ada satu teori yang
menyatakan, sikap pesimistis akan membuat seseorang
menjadi depresi. Dan
kondisi emosi yang depresif mengganggu resistensi
sistem imunitas tubuh
manusia terhadap penyakit.
Teori lain menyatakan, orang depresi sebenarnya
adalah orang yang
menyia-nyiakan dirinya sendiri sehingga menjadi
kurang peduli terhadap upaya
penyembuhan diri atau tidak kooperatif terhadap
perawatan yang dilakukan
dokter.
Beberapa penelitian juga membuktikan, orang yang
pesimistis lebih banyak
merokok dan minum minuman keras, serta sedikit
berolahraga. Kecuali itu,
pada umumnya orang pesimistis juga tidak terlampau
peduli pada kesehatannya,
apalagi berupaya memiliki perilaku sehat. Atau
mungkin saja, justru aspek
fisiologis dari rasa penuh pengharapan seseorang
yang optimislah yang
sebenarnya yang menjadi penolong biologis bagi
tubuh, sehingga orang itu
dapat mempertahankan kadar imunitas tubuh dan
berjuang keras untuk menyerang
penyakit yang diderita.
*Menjadi berpengharapan*
Selanjutnya timbul pertanyaan, mungkinkah orang yang
pesimistis bisa
mengubah diri menjadi optimistis?
Untuk berubah drastis memang tidak mungkin, karena
kedua kecenderungan
tersebut berada dalam kutub sangat berlawanan.
Meski demikian, akan mungkin untuk paling tidak
mengarahkan kecenderungan
dari taraf pesimistis yang intens ke tingkat kadar
optimistis tertentu,
dengan catatan ada motivasi dan kehendak kuat dari
diri yang bersangkutan.
Selain itu, diperlukan juga keyakinan kuat bahwa
perubahan kadar
kecenderungan sedikit saja akan memberi pengaruh
cukup bermakna, terutama
dalam menyikapi perawatan penyakit kronis yang
diderita.
Pesimistik-depresi dan optimistik berpengharapan
merupakan pasangan yang
tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Pada orang
depresi, peran rasio
(nalar) menjadi amat sangat terbatas. Perasaan cemas
dan agresif mendominasi
sehingga cara menghadapi penyakit yang diderita atau
persoalan lain dalam
hidup pun menjadi sangat emosional.
Orang emosional lebih mudah menyerah daripada
berjuang untuk menjadi sehat
dan fungsional, baik secara fisik, mental, maupun
sosial. Dengan kesadaran
akan dominannya peran emosi daripada rasio (nalar)
dalam dirinya, maka
seyogianya orang yang merasa diri pesimistik serta
rentan terhadap kondisi
depresif mulai melatih diri untuk sedikit demi
sedikit memanfaatkan nalarnya
dan membangkitkan pengharapan dalam diri agar tanpa
disadari akan terjadi
peningkatan kadar optimistis.
Peningkatan kadar pengharapan dalam sikap optimistis
akan dengan sendirinya
meningkatkan peran nalar (rasio) seseorang. Orang
yang berpengharapan akan
dapat menerima penyakit yang diderita dengan penuh
nalar sehingga penuh
pengharapan pula akan kesembuhan dengan cara antara
lain bersikap kooperatif
terhadap proses perawatan. Tentu saja tanpa
mengabaikan permohonan berkah
dari Allah yang Mahaesa serta sekaligus Maha
Penyembuh. ***
____________________________________________________________________________________
Be a better sports nut! Let your teams follow you
with Yahoo Mobile. Try it now.
http://mobile.yahoo.com/sports;_ylt=At9_qDKvtAbMuh1G1SQtBI7ntAcJ