Ilyas Karim : Kisah Pengibar Bendera Pusaka
Deru kereta api terdengar menggaruk-garuk rel, Kamis (16/8) malam itu. Dan, Ilyas Karim kerap dibayangi kekhawatiran jika gerbong sekonyong-konyong menimpa rumahnya. Maklum, jarak rumah Ilyas dengan rel cuma lima meteran. ”Tahun lalu ada tabrakan kereta api dan metro mini. Kebun pisang saya habis tergilas,” kata dia.
Beginilah Ilyas. Di usianya yang 80 tahun, badannya masih tampak kukuh. Maklum, dahulunya ia pejuang. Pada detik-detik Proklamasi 17 Agustus 1945, ia berdiri beberapa jengkal saja dari sisi Bung Karno. Siapa Ilyas? Dialah sang pengibar Sang Saka Merah Putih. Bersama Sudanco Singgih (almarhum), Ilyas menjadi salah satu yang bertugas mengerek bendera ketika proklamasi dikumandangkan 62 tahun silam di Jl Pegangsaan Timur 56 Jakarta Pusat. Usia Ilyas saat itu 17 tahun. :foto :video
Foto Ilyas terabadikan dalam buku-buku sejarah. Ia tampak mengenakan kemeja dan celana pendek putih. Sementara Sudanco mengenakan seragam tentara lengkap. Bung Karno, Bung Hatta, dan Fatmawati Soekarno mendongak ke atas menyaksikan bendera kian meninggi.
Takdir yang memilih Ilyas menjadi pelaku sejarah penting ini. Lahir di Padang, Sumbar, Ilyas sekeluarga hijrah ke Jakarta pada 1936. Ia disekolahkan di Banten, sementara ayahnya bertugas sebagai demang (camat) di daerah Matraman, Jakpus.
Namun, Jepang kemudian menangkap sang ayah, memboyongnya ke Tegal, Jateng, dan menembaknya. Ilyas menjadi yatim piatu dan tak punya biaya sekolah.
Ia kembali ke Jakarta dan bergabung dengan Angkatan Muda Islam (AMI) yang bermarkas di Jl Menteng 31, Jakpus. Nah, pada 17 Agustus 1945 anak-anak muda ini ditugaskan Chaerul Shaleh mengawal prosesi proklamasi kemerdekaan di Jl Pegangsaan Timur. Sudanco Singgih, yang saat itu tentara PETA, ditugaskan mengerek bendera.
Lantas siapa yang memegangi bendera? Adalah Latief Hadiningrat yang menugaskan Ilyas. Dari 50-an pemuda AMI, kebetulan Ilyas yang paling muda dan paling kecil. ”Dipikirnya saya yang paling gesit,” kata dia sembari terkekeh. Untungnya Ilyas punya pengalaman mengibarkan bendera ketika sekolah tarbiyah di Banten. Bedanya yang ia kibarkan saat itu adalah bendera Belanda. Lagunya pun lagu kebangsaan Belanda.
Didapuk mengibarkan bendera saat proklamasi, kontan saja Ilyas merasa bangga dan terharu. Ini, kata dia, adalah peristiwa mahapenting. ”Ini adalah titik balik bagi Indonesia dari bangsa budak menjadi bangsa merdeka. Dan, saya terlibat dalam peristiwa paling bersejarah ini,” kata dia.
Usai pengibaran bendera, proklamasi dikumandangkan. Bung Karno lantas mengajak hadirin masuk ke ruang tengah rumahnya di Jl Pegangsaan Timur. Mereka menyantap makanan ringan. Salah satunya kue bolu yang didatangkan dari Senen, Jakpus. Termasuk yang ikut menyantap bolu adalah Ilyas. Ia yang paling muda di situ.
Bung Karno lantas menghampiri Ilyas dan kawan-kawan sembari memberi wejangan. ”Kalian para pemuda. Belajarlah yang sungguh-sungguh. Kalau berdagang, berdaganglah yang sungguh-sungguh” ucap sang founding father ini. Ilyas kemudian bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR).
Babak baru kehidupan Ilyas dimulai pada 1948. Pada Mei tahun itu Ilyas dan sejumlah pemuda Jakarta diundang ke Bandung oleh Mr Kasman Singodimejo. Bertempat di bekas sebuah sekolah di Jl Buah Batu, Bandung, Kasman dan kawan-kawan berencana membentuk laskar Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Hadir di situ Jenderal AH Nasution dan Kharis Suhud.
TKR unit Jawa Barat pun sepakat dibentuk. Tapi kemudian mereka kebingungan, apa kira-kira nama divisi tentara ini. Ilyas kemudian berbicara pada AH Nasution, ”Beri kami waktu untuk berpikir soal nama.” Rapat pun dibubarkan.
Keesokan hari Ilyas menemui sejumlah tokoh setempat di daerah Leuwiliang, Bandung. Menurut mereka, rakyat Jabar adalah keturunan Prabu Siliwangi dari Sumedang. Ilyas lalu mengusulkan nama Siliwangi kepada AH Nasution. Usul ini disetujui. Jadi,”Saya itu yang beri nama Siliwangi,” kata ayah 15 anak ini sembari tersenyum.
Sebagai tentara, Ilyas pernah diterjunkan di sejumlah medan pertempuran di antaranya di Ambon (1951), Aceh (1954), Riau (1958), Timor-Timur (1974). Ia bertugas sebagai petugas medis. Tahun 1961 Ilyas dikirim ke Kongo dalam misi pasukan perdamaian PBB, termasuk ke Libanon dan Vietnam. Tak ada istilah sengsara dalam kamus Ilyas. Bagi seorang prajurit,”Pahit dan manis sama saja. Justru kita bersyukur karena diselamatkan Tuhan.”
Pada 1979 ia pensiun dengan pangkat letnan kolonel. Pada masa pensiun inilah justru badai mengempas. Tahun 1981 ia diusir dari tempat tinggalnya di asrama tentara Siliwangi, di Lapangan Banteng, Jakpus. Kata Ilyas, presiden saat itu, Soeharto, memang menaruh dendam pada prajurit Siliwangi. Sekitar 50 rumah para veteran perang ini dirubuhkan. Hujan tengah mengguyur deras saat penggusuran terjadi. Perabotan dan kasur pun basah kuyup. Sementara mata mereka basah oleh air mata.
Tak ada ganti rugi dari pemerintah. Mereka cuma diusir. Ilyas pun kelimpungan cari tempat tinggal. Sejumlah kawannya bahkan ada yang pulang kampung. Untungnya, atas kebaikan kepala stasiun Kalibata saat itu, Ilyas diberi sepetak tanah milik PJKA di Jl Rawajati Barat, Kalibata, Jaksel. Luasnya cuma 50 meter persegi. Lokasinya persis di pinggir rel.
Tapi Ilyas lega. Bersama sepuluh purnawirawan Siliwangi yang diusir rezim Orde Baru, Ilyas mendirikan bangunan petak di situ. Dahulunya, lokasi ini adalah tempat pembuangan sampah. Di tempat sempit dan gaduh inilah Ilyas –sang pengibar bendera pusaka– menghabiskan hari tuanya.
Saban bulan Ilyas memperoleh uang pensiun sebesar Rp 1,5 juta. Dahulu, sebagai pejuang berpangkat kopral di era Soekarno, ia memperoleh tunjangan Rp 50. ”Tapi, duit segitu enggak habis sebulan. Sekarang uang besar, tapi nilainya kecil,” tuturnya.
Uang pensiunan bagi para veteran ini bervariasi, dari Rp 500 ribu hingga Rp 1,5 jutaan. Setiap akhir bulan Ilyas kerap berjumpa sesama teman veteran saat mengambil uang pensiun. ”Tinggal di mana sekarang? Sudah punya rumah?” tanya Ilyas suatu waktu kepada rekannya. Yang ditanya menjawab sekenanya,”Boro-boro rumah. Saya masih kos di Condet,” Ilyas menirukan. Sejak 1995 Ilyas adalah Ketua Umum Yayasan Pejuang Siliwangi Indonesia yang bermarkas di Jl Proklamasi. Inilah kerja ngantor yang dilakoninya saban hari. Di usianya yang 80 tahun, dengan kedua bola matanya yang didera stroke, ia harus naik turun kereta api dari stasiun Kalibata hingga Cikini. Berjejal-jejalan.
Tak pernah lupa Ilyas mengenakan pin veteran 1945 di dada kirinya. Inilah yang menyelamatkan dia dari omelan kondektur atau petugas tiket KA. Mereka tak berani menagih ongkos KA. ”Mereka tahu veteran enggak ada duitnya,” kata dia kembali terkekeh. Toh, ia mengaku menikmati hari-harinya. Bagi dia,”Yang penting adalah badan sehat. Dan, enggak menyusahkan orang.” BLEKKY
Deru kereta api terdengar menggaruk-garuk rel, Kamis (16/8) malam itu. Dan, Ilyas Karim kerap dibayangi kekhawatiran jika gerbong sekonyong-konyong menimpa rumahnya. Maklum, jarak rumah Ilyas dengan rel cuma lima meteran. ”Tahun lalu ada tabrakan kereta api dan metro mini. Kebun pisang saya habis tergilas,” kata dia.
Beginilah Ilyas. Di usianya yang 80 tahun, badannya masih tampak kukuh. Maklum, dahulunya ia pejuang. Pada detik-detik Proklamasi 17 Agustus 1945, ia berdiri beberapa jengkal saja dari sisi Bung Karno. Siapa Ilyas? Dialah sang pengibar Sang Saka Merah Putih. Bersama Sudanco Singgih (almarhum), Ilyas menjadi salah satu yang bertugas mengerek bendera ketika proklamasi dikumandangkan 62 tahun silam di Jl Pegangsaan Timur 56 Jakarta Pusat. Usia Ilyas saat itu 17 tahun. :foto :video
Foto Ilyas terabadikan dalam buku-buku sejarah. Ia tampak mengenakan kemeja dan celana pendek putih. Sementara Sudanco mengenakan seragam tentara lengkap. Bung Karno, Bung Hatta, dan Fatmawati Soekarno mendongak ke atas menyaksikan bendera kian meninggi.
Takdir yang memilih Ilyas menjadi pelaku sejarah penting ini. Lahir di Padang, Sumbar, Ilyas sekeluarga hijrah ke Jakarta pada 1936. Ia disekolahkan di Banten, sementara ayahnya bertugas sebagai demang (camat) di daerah Matraman, Jakpus.
Namun, Jepang kemudian menangkap sang ayah, memboyongnya ke Tegal, Jateng, dan menembaknya. Ilyas menjadi yatim piatu dan tak punya biaya sekolah.
Ia kembali ke Jakarta dan bergabung dengan Angkatan Muda Islam (AMI) yang bermarkas di Jl Menteng 31, Jakpus. Nah, pada 17 Agustus 1945 anak-anak muda ini ditugaskan Chaerul Shaleh mengawal prosesi proklamasi kemerdekaan di Jl Pegangsaan Timur. Sudanco Singgih, yang saat itu tentara PETA, ditugaskan mengerek bendera.
Lantas siapa yang memegangi bendera? Adalah Latief Hadiningrat yang menugaskan Ilyas. Dari 50-an pemuda AMI, kebetulan Ilyas yang paling muda dan paling kecil. ”Dipikirnya saya yang paling gesit,” kata dia sembari terkekeh. Untungnya Ilyas punya pengalaman mengibarkan bendera ketika sekolah tarbiyah di Banten. Bedanya yang ia kibarkan saat itu adalah bendera Belanda. Lagunya pun lagu kebangsaan Belanda.
Didapuk mengibarkan bendera saat proklamasi, kontan saja Ilyas merasa bangga dan terharu. Ini, kata dia, adalah peristiwa mahapenting. ”Ini adalah titik balik bagi Indonesia dari bangsa budak menjadi bangsa merdeka. Dan, saya terlibat dalam peristiwa paling bersejarah ini,” kata dia.
Usai pengibaran bendera, proklamasi dikumandangkan. Bung Karno lantas mengajak hadirin masuk ke ruang tengah rumahnya di Jl Pegangsaan Timur. Mereka menyantap makanan ringan. Salah satunya kue bolu yang didatangkan dari Senen, Jakpus. Termasuk yang ikut menyantap bolu adalah Ilyas. Ia yang paling muda di situ.
Bung Karno lantas menghampiri Ilyas dan kawan-kawan sembari memberi wejangan. ”Kalian para pemuda. Belajarlah yang sungguh-sungguh. Kalau berdagang, berdaganglah yang sungguh-sungguh” ucap sang founding father ini. Ilyas kemudian bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR).
Babak baru kehidupan Ilyas dimulai pada 1948. Pada Mei tahun itu Ilyas dan sejumlah pemuda Jakarta diundang ke Bandung oleh Mr Kasman Singodimejo. Bertempat di bekas sebuah sekolah di Jl Buah Batu, Bandung, Kasman dan kawan-kawan berencana membentuk laskar Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Hadir di situ Jenderal AH Nasution dan Kharis Suhud.
TKR unit Jawa Barat pun sepakat dibentuk. Tapi kemudian mereka kebingungan, apa kira-kira nama divisi tentara ini. Ilyas kemudian berbicara pada AH Nasution, ”Beri kami waktu untuk berpikir soal nama.” Rapat pun dibubarkan.
Keesokan hari Ilyas menemui sejumlah tokoh setempat di daerah Leuwiliang, Bandung. Menurut mereka, rakyat Jabar adalah keturunan Prabu Siliwangi dari Sumedang. Ilyas lalu mengusulkan nama Siliwangi kepada AH Nasution. Usul ini disetujui. Jadi,”Saya itu yang beri nama Siliwangi,” kata ayah 15 anak ini sembari tersenyum.
Sebagai tentara, Ilyas pernah diterjunkan di sejumlah medan pertempuran di antaranya di Ambon (1951), Aceh (1954), Riau (1958), Timor-Timur (1974). Ia bertugas sebagai petugas medis. Tahun 1961 Ilyas dikirim ke Kongo dalam misi pasukan perdamaian PBB, termasuk ke Libanon dan Vietnam. Tak ada istilah sengsara dalam kamus Ilyas. Bagi seorang prajurit,”Pahit dan manis sama saja. Justru kita bersyukur karena diselamatkan Tuhan.”
Pada 1979 ia pensiun dengan pangkat letnan kolonel. Pada masa pensiun inilah justru badai mengempas. Tahun 1981 ia diusir dari tempat tinggalnya di asrama tentara Siliwangi, di Lapangan Banteng, Jakpus. Kata Ilyas, presiden saat itu, Soeharto, memang menaruh dendam pada prajurit Siliwangi. Sekitar 50 rumah para veteran perang ini dirubuhkan. Hujan tengah mengguyur deras saat penggusuran terjadi. Perabotan dan kasur pun basah kuyup. Sementara mata mereka basah oleh air mata.
Tak ada ganti rugi dari pemerintah. Mereka cuma diusir. Ilyas pun kelimpungan cari tempat tinggal. Sejumlah kawannya bahkan ada yang pulang kampung. Untungnya, atas kebaikan kepala stasiun Kalibata saat itu, Ilyas diberi sepetak tanah milik PJKA di Jl Rawajati Barat, Kalibata, Jaksel. Luasnya cuma 50 meter persegi. Lokasinya persis di pinggir rel.
Tapi Ilyas lega. Bersama sepuluh purnawirawan Siliwangi yang diusir rezim Orde Baru, Ilyas mendirikan bangunan petak di situ. Dahulunya, lokasi ini adalah tempat pembuangan sampah. Di tempat sempit dan gaduh inilah Ilyas –sang pengibar bendera pusaka– menghabiskan hari tuanya.
Saban bulan Ilyas memperoleh uang pensiun sebesar Rp 1,5 juta. Dahulu, sebagai pejuang berpangkat kopral di era Soekarno, ia memperoleh tunjangan Rp 50. ”Tapi, duit segitu enggak habis sebulan. Sekarang uang besar, tapi nilainya kecil,” tuturnya.
Uang pensiunan bagi para veteran ini bervariasi, dari Rp 500 ribu hingga Rp 1,5 jutaan. Setiap akhir bulan Ilyas kerap berjumpa sesama teman veteran saat mengambil uang pensiun. ”Tinggal di mana sekarang? Sudah punya rumah?” tanya Ilyas suatu waktu kepada rekannya. Yang ditanya menjawab sekenanya,”Boro-boro rumah. Saya masih kos di Condet,” Ilyas menirukan. Sejak 1995 Ilyas adalah Ketua Umum Yayasan Pejuang Siliwangi Indonesia yang bermarkas di Jl Proklamasi. Inilah kerja ngantor yang dilakoninya saban hari. Di usianya yang 80 tahun, dengan kedua bola matanya yang didera stroke, ia harus naik turun kereta api dari stasiun Kalibata hingga Cikini. Berjejal-jejalan.
Tak pernah lupa Ilyas mengenakan pin veteran 1945 di dada kirinya. Inilah yang menyelamatkan dia dari omelan kondektur atau petugas tiket KA. Mereka tak berani menagih ongkos KA. ”Mereka tahu veteran enggak ada duitnya,” kata dia kembali terkekeh. Toh, ia mengaku menikmati hari-harinya. Bagi dia,”Yang penting adalah badan sehat. Dan, enggak menyusahkan orang.” BLEKKY