Senin, 01 Desember 2008

Sumpah Pemuda


Di antara maraknya berita aksi atau demo dan pembunuhan, ada satu berita penting untuk pemuda. Ya..itu dia, berita tentang Sumpah Pemuda. Hatiku berteriak, mudah-mudahan tidak sekadar peringatan.Seperti hari-hari sebelumnya, Andi—teman sekamarku—minum kopi susu sambil melihat berita di televisi. Sementara di luar, sang mentari tidak menampakkan diri. Jelas saja, pagi ini langit menangis tersedu-sedu. Tapi, menangis bukan karena bersedih. Menangis karena taat—menangis karena cinta. Menangis yang dinanti-nantikan oleh petani yang merindukan sawahnya tersenyum kembali.

“San..sekarang tanggal berapa?” tanya Andi.

Ya.. namaku Hasan, lengkapnya Abdullah Hasan Al-Garuti.

“Tanggal dua puluh delapan,” jawabku.

“Dua puluh delapan apa?” tanya Andi lagi.

“Oktober, jawabku datar.

“Oh..” Andi terlihat serius melihat berita.

“Kenapa gitu Di?” tanyaku pada teman yang sudah empat tahun sekamar denganku.

“Aku rindu keluargaku, padahal belum lama pulang, baru tiga bulan.”

Tidak berapa lama, topik berita berganti dari mutilasi menjadi Sumpah Pemuda.

“Oh iya Di, sekarang kan Hari Sumpah Pemuda.”

“Iya,” jawaban Andi dingin.

Aku senang berorganisasi, tapi Andi tidak begitu ngeh dengan organisasi.

“Di, menurutmu apa pentingnya Sumpah Pemuda?” Aku membuka obrolan.

“Sumpah pemuda?”

“Iya, kita kan pemuda”

“Dari kata sumpahnya saja berat San.”

“Berat gimana Di?”

Andi, walaupun tidak suka berorganisasi, tapi jika sudah bicara, aku banyak mendengarkan. Perkataannya berat.

“Sumpah. Sumpah itu konsekuensinya berat bagi yang tidak dapat melaksanakannya. Sumpah itu, biasanya diawali dengan kata demi. Demi Allah, demi masa, dan sebagainya.”

Pembicaraan Andi terhenti sejenak, tangan kanannya mengambil gelas bening polos berisi air manis-pahit, mengangkat dan mendekatkan ke bibirnya, serta meminum air tersebut. Memang nikmat, minum kopi susu pagi-pagi, apalagi hujan begini.

Televisi terus menyala dengan topik berita yang berganti-ganti dihiasi gemericik air hujan yang berjatuhan menimpa genting. Kamarku—yang juga kamar Andi—berada di lantai dua rumah Ibu Kos. Ya, kamarku berada di dalam menyatu dengan rumah Ibu Kos, rumah ini punya pintu dan jalan yang berbeda dengan pintu utama masuk rumah karena bentuknya yang terbelah ditengah, jika dibuka atasnya aja seperti jendela. Untuk sampai ke kamarku bisa melalui pintu ini.

Kamarku dekat dengan tangga. Ada sembilan anak tangga beralaskan karpet biru. Dulu, waktu semester satu sampai empat, beralaskan karpet merah. Seperti mau masuk ke istana saja. Begitulah kamar kos-ku, istanaku. Televisi disediakan Ibu Kos dekat dengan tangga, depan kamarku. Andi meneruskan pembicaraannya.

“Sumpah tidak berarti, kecuali jika menyebut nama Allah atau salah satu sifat-Nya. Kita tidak boleh bersumpah dengan nama makhluk. Hanya Allah saja yang bersumpah dengan makhluk-Nya. Tadi sudah dicontohkan satu—1demi masa—yang lainya 2demi matahari dan cahaya dipagi hari—3demi siang bila terang benderang dan demi malam bila menutupi cahaya siang. Hal ini untuk mengundang perhatian terhadap benda-benda yang dijadikan sumpah dan dorongan untuk mengamatinya, sehingga kita bisa menemukan kebenaran.”

“Terus beratnya di mana Di dan berapa kuintal?”

“Ah, kamu ada-ada saja San. Beratnya, orang yang bersumpah wajib melaksanakan isi sumpahnya. Sumpah yang isinya dilaksanakan menjadi amal baik, jika tidak melaksanakan maka wajib membayar kafarat.”

“Kafarat?”

“Iya, kafarat itu penutup. Maksudnya segala bentuk pekerjaan yang dapat menutupi dosa sehingga tidak meninggalkan pengaruh yang menyebabkan adanya sanksi di dunia dan di akhirat.”

“Memang, kalau kita tidak melaksanakan Sumpah Pemuda, kita harus bayar kafarat?”

“Hmm, yang aku jelaskan tadi tentang kata sumpah. Yang aku tahu sumpah yang harus membayar kafarat jika sumpah itu tidak dilaksanakan yaitu sumpah yang dimaksudkan pelakunya secara sungguh-sungguh. Ada pun sumpah orang yang dipaksa dan orang yang bergurau tidak sah atau tidak ada kafarat.”

“Sumpah orang yang bergurau? Contohnya?”

“Contohnya..” Mata Andi naik ke atas dan keningnya berkerut. “Demi Allah kamu mesti makan atau demi Allah kamu mesti datang.”

“Oh gitu ya Di.”

“Itu baru dari kata Sumpah. Sekarang Pemuda.”

Kepalaku manggut-manggut

“Pemuda adalah orang yang berpengaruh untuk perubahan nasib bangsa.” Andi terdiam, kemudian meminum kopinya lagi. Aku menoleh ke belakang melihat ikan kecil warna-warni berenang di akuarium. Hujan mulai reda.

“Namun pemuda sekarang perlu pembinaan.”

Aku kembali melihat ke muka berkulit putih dengan alis tebal, hidung sedang (tidak terlalu mancung), memang tampan temanku ini.

“ Pembinaan mental..paradigma mereka harus di-setting ulang. Memang tidak semua, mayoritas dari mereka jauh dari harapan untuk memajukan bangsa ini. Aku lupa teks Sumpah Pemuda karena tidak menghafalnya, yang penting pemuda merupakan generasi penerus bangsa ini.”

“Terus, paradigma yang bagaimana yang seharusnya ada pada pemuda?” tanyaku.

“Paradigma yang berorientasi pada tujuan hidup sebenarnya, bukan pada tujuan hidup yang semu.”

“Maksud tujuan hidup yang semu?”

“Hmm..” Kening Andi berkerut dan menjawab.

“Misalnya tujuan saya adalah kaya raya. Bukan tidak boleh kaya, setelah kaya mau apa? Sudahkah tujuan hidup tercapai? Jika sudah, mau apa lagi?”

Lagi-lagi kepalaku manggut-manggut

“Contoh lainya, senang-senang—hidupku adalah kesenanganku—asal aku senang, akan aku lakukan apa saja, bahaya itu !”

“Terus tujuan hidup sebenarnya apa?’

“Ah, aku yakin San, kamu lebih tahu tentang itu.”

“Iya, aku setuju Di, sudah seharusnya pemuda mempunyai paradigma yang berorientasi pada ibadah. Mau apa lagi hidup di dunia ini? Tugas kita adalah ibadah, mengabdi pada Allah.”

“So, San, kamu mau ngapain buat memperingati Hari Sumpah Pemuda sekarang? Mau upacara? Kalau aku, ogah ah, apalagi habis hujan begini. Mana becek, nggak ada ojek, cape deh. Hehe..”

“Hehe..”

Aku dan Andi tertawa bersama. Lagi-lagi hatiku berteriak, Sumpah Pemuda, mudah-mudahan tidak sekadar peringatan, tapi aku harus menjadi pemuda yang dapat berkarya. Karya yang bermanfaat bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.